School
Ghost part6
Karya : Muhammad Al-faruq
Habiburrahman
“Kalian sepertinya asik sendiri apakah kalian
menemukan sesuatu yang menarik?” kata Zaki sang ketua kelas.
“Oh iya, kami berbicara dengan seseorang yang
bernama Anida tadi.” Jawab Nia.
“Seseorang?” kata Zaki agak bingung.
“Ya, tadi ada seorang gadis yang rambutnya
dikuncir dua.” Kata Fita sambil menggenggamkan tangannya di samping kedua
telinganya.
“Aku tidak melihatnya. Aku hanya melihat
kalian berdua sedang berbicara berdua sambil melihat tembok di depan kalian.”
Kata Azka.
“Tadi kami bertiga kok.” Kata Nia membantah.
“Iya, tadi kami bersama gadis yang rambutnya
dikuncir dua.” Tambah Fita.
“Faktanya kami tidak melihat apapun yang
bersama kalian.” Kata Azka lagi.
“Mungkin kalian melihatnya setelah gadis itu
pergi.” Kata Nia masih tak percaya kalau yang tadi bersamanya itu tidak
terlihat oleh Azka dan kawan-kawan.
“Memangnya kau piker lorong ini sependek apa?
Dari ujung sana hingga ke sini butuh waktu yang agak lama.” Kata Faruq.
“Sejak tadi kami hanya melihat kalian berbicara
berdua.” Tambah Zaki.
“Eh, lalu…” kata Nia sambil menatap Fita.
“Jangan-jangan Anida itu…” kata Fita.
“Hantu!” teriak Fita dan Nia bersamaan.
“Sudah! Hah, kalian memang berisik. Yang
penting apa yang yang dilakukannya disini?” kata Faruq.
“Katanya ia sedang menuggu seseorang yang
biasa lewat sini. Ia juga bilang kalau ia sangat menyukai orang itu.” Jelas
Nia.
“Hmm, sekarang aku berdo’a agar orang yang
dimaksud itu bukan aku.” Kata Azka.
“Itu tidak mungkin, aku sudah bilang bukan
kalau Anida itu seorang perempuan. Mana mungkin ia menyukaimu?” kata Fita.
“Siapa tahu…” kata Azka watados.
“Hmm, aku dengar kisah seorang kelas VIII A
yang meninggal sebelum sempat menyatakan rasa sukanya kepada orang yang ia
sukai.” Kata Faruq.
“Mungkinkah itu dia?” tanya Azka.
“Aku ingin bertanya, apakah warna rambutnya
itu pirang?” tanya Zaki.
“Bagaimana kau tahu kalau rambutnya itu
berwarna pirang?” kata Nia balik bertanya.
“Aku melihat album foto yang berisi foto-foto
para alumni,” kata Zaki.
“Angkatan berapa album itu?” tanya Nia. Fita
sedang terdiam, ia sedang memikirkan sesuatu.
“Dia angkatan nomor 16, sedangkan kita
angkatan 21. Mungkin dia menyukai teman seangkatannya. Harusnya ada nomor
teleponnya di buku kenangan alumni.” Kata Zaki.
“Satu masalah, siapa orang yang dimaksud itu?”
tanya Faruq tiba-tiba.
“Berpikir keras selalu membuatklu lapar. Apa
ada yang membawa makanan?” tanya Fita sambil memegangi perutnya yang sudah
berbunyi, tanda minta diisi perutnya.
“Mungkin kau ada benarnya. Aku tidak membawa
bekal makanan.” Kata Zaki ikutan lapar.
“Jika kalian semua lapar, aku punya ide.” Kata
Faruq.
“Apa?” kata Azka, Nia, Fia dan Zaki secara
bersamaan.
“Diantara kita berlima, rumahkulah yang paling
dekat dari sini. Jadi, tunggu apa lagi? Ayo kita ke rumahku.” Kata Faruq sambil
beranjak pergi.
“Kami ikut!” kata Azka, Fita, Nia, dan Zaki
secara bersamaan lagi. Merekapun pergi ke rumah Faruq. Rumahnya dekat dari
sekolah. Dapat ditempuh dengan berjalan kaki.
Sesampainya di rumah Faruq, mereka langsung
masuk ke dalam kamarnya Faruq sambil menuggu makanan.
“Bu, tolong bawakan makanannya ke kamar ya!”
kata Faruq sedikit keras.
“Siap, berapa orang? Satu… dua… tiga…” kata
ibunya Faruq yang baik hati. Beberapa menit kemudian makanan siap untuk
dimakan. Tapi ada sesuatu yang janggal.
“Bu, kok ada enam, kita kan hanya berlima?”
tanya Faruq setelah hidangan siap untuk disantap.
“Apa ibu mau ikut makan bersama kami?” tanya
Azka.
“Eh, tadi ada enam kok. Ada seseorang yang
rambutnya dikuncir dua. Apa dia sudah pulang?” kata ibunya Faruq sambil
menghitung kembali jumlah anak-anak yang berkunjung ke rumahnya. Faruq dan
kawan-kawan pun terkejut mendengar jawaban ibunya Faruq.
“Mungkin hanya salah lihat.” Tambah ibu Faruq.
“Kata semua anak-anak yang ada di kamar Faruq
saat itu.