Liburan Ke Rumah NenekKarya: Muhammad Al-faruq Habiburrahman
Aku senang sekali, hari ini bapak dan ibuku mengajaku dan
mba oya jalan jalan ke rumah mbah uti. Kami bersiap siap menyiapkan semua
keperluan disana nanti. Sebelum kami
berangkat ke rumah mbah uti, kami berbelanja dulu di toko Adjie. Toko grosir
dan eceran pertama dan terdekat dari rumah kami. Di toko Adjie aku membeli
chiki, permen, dan coklat yang lumayan banyak. Saat tiba di mesin kasir, aku
melihat ada coklat yang sangat menarik perhatian aku. Tetapi sayang harganya
sangat mahal, “lain kali ya!” kata ibu. Aku kecewa karena tidak diizinkan
membeli coklat tersebut, tetapi aku juga senang karena kita akan segera
berangkat menuju rumah mbah uti. “kurelakan coklat lima senti itu untuk segera
ke rumah mbah uti, mbah tunggulah kedatanganku disana!” kataku dalam hati.
Aku sangat bersemangat untuk segera sampai ke rumah mbah
uti. Belum saja masuk desa, aku sudah dapat membayangkan apa yang akan
kulakukan disana nanti. Aku lihat mba oya sedang tidur pulas, air liurnya
sampai menets ke jok mobil. “Hii mba oya ngiler” kataku setengah berteriak,
spontan mba oya bangun dan langsung mengelap air liurnya. Aku bapak dan ibupun
menertawakannya. Aku kembali melanjutkan aktivitasku tadi, yaitu membayangkan
apa yang akan aku lakukan di desa nanti, mba oya meneruskan mimpinya yang tadi
sempat terpotong, ibu dan bapak kembali konsentrasi pada jalanan. Bapak yang
menyetir mobil carry rabits 1.5 warna silver milik keluarga kami, mobil kami
yang tersayang.
Mobilku berhenti di rest area km 105, tepatnya didepan
solaria. Aku terbangun begitu pula mba oya. Masih dalam kondisi setengah tidur
aku memeriksa mobil, kosong tidak ada siapa siapa kecuali kami berdua. Sudah
menjadi kebiasaan kami berdua yang mempunyai rasa ingin tahu yang sangat kuat
mengotak atik sesuatu yang menganggur, termasuk mobil ini. Kami yang masih
kecil, kira kira umur kami sekitar 7, dan 8 tahun. Ya, jarak umur kami hanya
satu setengah tahun. Aku memaikan dashboard, sedangkan mba oya duduk di kursi
pengemudi sambil memainkan setir mobil kami yang mengkilap, kami menyebut kursi
itu dengan nama kursi bapak, karena hampir setiap perjalanan bapaklah supirnya.
Tiba tiba terdengar suara klakson yang keras sekali “tiiin tiiin tiiin”
begitulah bunyinya. Kami segera mencari cari asal suara klakson terebut. Kami
melihat sekeliling, hanya ada satu mobil di sepanjang area parkir ini. Yaitu
mobil kami.
Sadar bahwa mobil yang sedang kami naiki adalah mobil
yang mengeluarkan suara klakson tersebut, aku dan mba oya panik. Aku langsung
pindah ke jok belakang mobil sambil menutup telingaku dan langsung disusul oleh
mba oya. “Bib gimana nih bib” tanya mba oya kepadaku.
Kami semakin panik. Secara tidak sengaja aku melihat
seorang polisi yang berbadan tinggi dan tegak. “mba oya mba oya,” kataku sambil
terus menatap polisi tersebut tanpa berkedip. “Apa sih?” kata mba oya sedikit
teriak karena suara klakson mobil. “Ada polisi lagilari ke sini,” “apa?” “Ada
polisi lagi lari kesini!” kataku sambil berteriak. “Mana?” “itu disana! Yang lagi
lari.” Polisi itu semakin mendekat. Kami pun berteriak “pak polisi! Pak
polisi!” sambil melambaikan tangan. Sudah lama kami ingin seorang polisi dari
jarak dekat. Selama ini kami hanya melihat polisi dari tv dan koran koran yang
bapak beli.
Mba oya semakin antusias ketika pak polisi itu semakin
dekat. Karena merasa bosan, aku iseng iseng melihat ke arah belakang dan di
sana aku melihat ibu dan bapak yang baru saja keluar dari sebuah toko. Aku
mencolek pundak mba oya dan menunjuk ke arah ibu, mba oya menengok dan melihat
ibu yang baru keluar dari sebuah toko. Sadar bahwa mobilnya mengeluarkan bunyi
klakson tanda alarm, bapak segera mematikan alarm dan berlari menuju kami. Aku
tidak memperhatikannya karena aku lebih asyik terhadap polisi yang berlari semakin
kencang.
Ibu dan bapak sampai ke mobil kami terlebih dahulu,
karena memang jarak antara toko yang tadi ibu datangi tidak seberapa jauh dari
mobil kami. Saat itu ibu langsung membuka pintu mobil dan mencari kami. Saat
menemukan kami sedang meneriaki pak polisi yang sedang berlari kearah kami dan
melambaikan tangan, ibu hanya tersenyum. Polisi itu datang ketika ibu sudah
menaikan barang barang belanjaannya di atas mobil. Kami langsung pindah posisi
kedepan agar dapat melihat polisi itu lebih jelas.
“Selamat malam bapak dan ibu," “malam, ada apa ya
pak?” “apakah benar ini adalah kendaraan bapak dan ibu?” “ya benar, ini mobil
kami,” kata bapak. “boleh saya lihat SIM dan STNKnya?” kata polisi itu ramah.
“ada apa ya pak?” “suara kendaraan anda mengganggu rest area ini.” Bapak
menyerahkan SIM dan STNKnya, mba oya yang sedari tadi hanya berdiam diri
berkata dengan suara yang keras “pak polisi!”. Polisi tersebut tersenyum ketika
mba oya memanggilnya. “terimakasih, lain kali jaga putra dan putri bapak,
selamat malam.” Kata polisi itu sambil menyerahkan SIM dan STNK bapak.
Sore berganti malam, kami sering pergi jauh pada malam
hari. Selain karena tidak panas, langit malam juga lebih indah dibanding langit
pada siang hari. Dimalam hari juga jarang terjadi kemacetan. Itulah alasan
mengapa kami lebih suka pergi pada malam hari.
Singkat cerita akhirnya kami sampai ke rumah mbah uti
pada pagi hari, kira kira sekarang jam 07.00
pagi. Sesampainya disana aku dan mba oya langsung menghampiri mang ujang, sang
penjaga kebon. Kami menarik tangan mang ujang sambil menunjuk kolam atau lebih
pantas disebut empang, dengan maksud agar mang ujang menemani kami bermain air.
“Bilang dulu sama mbah uti.” Seperti biasa ketika mang ujang ingin menolak
permintaan kami. “Mbah uti boleh ya” kataku sambil memegangi tangannya. Mbah
uti diam saja, seperti menunggu sesuatu. “Bib udah mbah uti gak bakalan izinin
paling cuma bilang ‘udah makan dulu sana tuh maba ayu sudah masakin ikan bakar
buat dimakan.’ Dan itu selau jadi kenyataan” kata mba oya menebak.
Saat matahari sudah mencapai puncaknya aku dan mba oya
sudah siap pergi bermain air di empang. “Tuhkan kalau udah mandi udah makan
udah shalat jadi tinggal berangkat. Pas jalan jalan juga tidak lapar karena
sudah makan. Dah ke sawah sana sama mba ayu dan mang ujang manen singkong,
sekalian bawa ini buat camilan disana.” Kata mbah uti sambil menyerahkan empat
bungkus manisan. Aku dan mba oya kecewa karena tidak jadi main air, tapi tidak
apa yang penting asyik. Aku, mba oya, mang ujang, dan mba ayupun pergi kesawah.
Di tengah jalan menuju ke sawah aku dan kawan kawan
bertemu dengan mba dwi bersama anaknya ari yang sedang jalan jalan. Walaupun
mba dwi sudah menjadi ibu tetapi kami lebih sering memanggilnya dengan sebutan
“mba” karena sudah terbiasa memanggilnya begitu, susah mengubah kebiasaan itu.
Kami pun mengajak mereka ikut serta untuk pergi ke sawah.
Ketika sudah sampai di sawah mba ayu dan mba dwi duduk
duduk sambil ngobrol di saung yang baru direnofasi beberapa minggu yang lalu. Aku,
mba oya, dan ari langsung menyambar sebuah pohon singkong yang ukurannya tidak
begitu besar. “Eh mba oya, mas habib, mas ari jangan ikutan manen nanti kotor
duduk aja sama mba ayu sama mba dwi. Nanti kalo udah kepanen semua langsung
bisa makan singkong.” “gak mau, maunya ngambil singkong” kata aku dan mba oya
berbarengan, “nanti dimarahin mbah loh” kata mba ayu. “Biarin wek”
Singkong adalah tanaman berakar tunggang yang kuat, ia
juga menyimpan cadangan makanannya pada akar atau umbi akar. Berarti jika ingin
mendapakan singkong harus mencabut tanamannya hingga keakar. Bagi mang ujang
yang sudah terbiasa dangan pekerjaan ini adalah hal yang sepele. Tetapi bagi
kami anak anak usia bawah sepuluh tahun in adalah pekerjaan yang akan menguras
tenaga yang banyak. Mungkin anak anak seusia kami tidak akan bisa mencabut
satupun pohon singkong, tetapi kami dengan semangat yang luar biasa membara
juga kerjasama yang kompak, dan perjuangan yang hebat di atas tanah yang tidak
datar kami berhasil mencabut lima buah pohon yang lumayan besar bagi anak
seusia kami. Itu berarti lima buah akar telah dicabut oleh tiga anak bawah
sepuluh tahun.
Setelah puas mengambili singkong dari akarnya, juga makan
manisan yang tadi dibawa dari rumah kami (aku, mba oya, dan ari) minta izin
dari mba ayu dan mang ujang untuk jalan jalan. “ya boleh tapi maghrib harus
udah ada di rumah.” Kata mang ujang. Begitu mendapat izin kami langsung pergi
ke tempat antah berantah.
Kami mengawali petualangan ini dengan berjalan diantara
padi padi yang mulai menguning. Kami berjalan pada jalan setapak sawah yang
terbuat dari lumpur yang licin, mba oya sempat terpeleset dan jatuh ke sawah
dan kehilangan salah satu dari dua sendalnya. Selanjutnya kami pergi ke ladang
jagung, disana banyak sekali serangga yang berterbangan kami sempat kewalahan
menghadapi serbuan hewan hewan kecil itu. Kami lanjut lagi hingga sampai di
sebuah kebon yang banyak pohonnya. Konon kata orang sekitar sini, kebon ini
adalah batas antara hutan terlarang dan hutan yang boleh dipakai. Dengan
nakalnya kami masuk ke dalam kebon dan terus menerobos hingga kedalam. Aku
merasakan firasat buruk begitu juga mba oya dan ari. Aku tidak hati hati ketika
ada sebuah akar yang terbentang di bawah kakiku, aku pun tersandung dan bajuku
robek dibagian pundak karena tersangkut ranting.
Kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah mbah uti.
Kami berusaha menemukan jalan kembali, tetapi tidak hasilnya. Kami tersesat.
Kami terus berjalan mengikuti kata hati mba oya yang paling tua. Hasilnya kami
menemukan tanah lapang yang luas sekali, seperti lapangan bola. Pada suatu
sudut di tanah lapang itu aku menemukan sekelompok rumput yang aneh. Aku
memanggil mba oya dan ari agar mereka juga melihatnya. “Apa ini?” kata ari
ketika melihat tanaman itu. Kami berdua mengangkat bahu tanda tidak tahu. Aku
mencoba menyentuhnya dengan perasaan sedikit takut, aku takut jika itu adalah
tanaman beracun. Saat kusentuh ternyata tidak apa apa, aku sperti menyentuh
kumpulan benang halus yang banyak. Tanaman itu memiliki tekstur yang sangat
lembut, saking lembutnya rumpun itu jika ada orang yang memegangnya ia akan
berkata “inilah rumput terlembut di dunia.”
Itulah awal dari perjalanan pencarian jalan pulang kami.
Setelah puas melihat lihat keajaiban alam disana aku dan kawan kawan kembali
kebon untuk mencari jalan pulang.
Kali bukan firasat mba oya yang memimpin tetapi akulah
yang memimpin mencari jalan pulang. Aku berusaha mengumpulkan apa yang tadi
kami lihat di dalam kebon. Aku tadi melihat akar pohon yang menjalar, mba oya
melihat tanah berlubang, ari melihat bebatuan yang banyak, kami berusaha
menemukannya lagi dalam upaya menemukan jalan pulang. Setelah beberapa saat
kami berjalan akhirnya aku menemukan akar pohon yang kulihat tadi, kami terus
menelusuri jalan tersebut hingga kami menemukan lubang yang dalam berarti sudah
dua yang ketemu. Kami semakin bersemangat untuk terus menelusuri jalan itu.
“Masih ada harapan” begitulah dihati kami bertiga. Kami terus mencari dan terus
mencari tetapi tetap tidak ketemu barang ketiga yaitu batuan yang banyak.
Kami terus mencari hingga kami melihat ladang jagung dari
kejauhan. Kami langsung berlari kearah ladang jagung tersebut. Kami telah
keluar dari kebon pembatas. Walaupun sudah keluar dari kebon kami masih
kebingungan karena ladang jagung itu sangat luas. Aku menyerah aku terlalu
capek untuk memikirkan jalan pulang, kini giliran ari yang memimpin. “Ikuti
aku” kata ari. Aku dan mba oya mengikuti ari yang berjalan didepan. Kami terus
berjalan lurus menuruni tebing. Sekarang aku tahu bagaimana ari mengetahui secara
pasti jika itu jalan pulang. Karena sedari tadi saat kita pergi, kita hanya
mendaki dan mendaki tidak turun turun. Sudah dapat di tebak akhirnya kita
sampai pada sawah. Ari kini sudah tidak berlari lagi. Ia lebih berhati hati
agar tidak mendapat musibah seperti kami (aku dan mba oya). Tanpa disangka
sangka ari terpeleset ke dalam sawah dan menyebabkan beberapa padi rusak.
Singkat cerita akhirnya kami menemukan jalan pulang dan
dapat bertemu dengan rumah mbah uti. Kami sudah sangat dekat, kami berlari
melewati empang. Tiba tiba “jeburrr...” ari terpeleset dan langsung berenang
bersama ikan di empang. Kami menertawakannya.
Akhirnya kami tiba di rumah mbah uti tepat sebelum azan
maghrib berkumandang. Kami hanya cengar cengir ketika melihat mbah uti yang
sempat khawatir kalau kalau kami diculik. Aku menatap mang ujang sambil berkata
“yang penting belum maghrib.” Ibu hanya menggelengkan kepala bapak sedang
istirahat dan mba ayu sudah pulang. Mbah uti menyuruh kami mandi dan shalat
maghrib. Kamipun mandi sambil main air di bathub. Mbah uti diluar kamar mandi
menunggu kami selesai mandi. Kami senang dengan pengalaman luar biasa ini,
kapan kapan jika ada kesempatan kami akan kembali lagi ke sini untuk merasakan
dan mendapatkan pengalaman seru yang baru. Aku, mba oya, ibu, dan bapak, juga mbah uti.