Sabtu, 11 Agustus 2012

Cerita Liburan


Liburan Ke Rumah NenekKarya: Muhammad Al-faruq Habiburrahman

Aku senang sekali, hari ini bapak dan ibuku mengajaku dan mba oya jalan jalan ke rumah mbah uti. Kami bersiap siap menyiapkan semua keperluan disana nanti.  Sebelum kami berangkat ke rumah mbah uti, kami berbelanja dulu di toko Adjie. Toko grosir dan eceran pertama dan terdekat dari rumah kami. Di toko Adjie aku membeli chiki, permen, dan coklat yang lumayan banyak. Saat tiba di mesin kasir, aku melihat ada coklat yang sangat menarik perhatian aku. Tetapi sayang harganya sangat mahal, “lain kali ya!” kata ibu. Aku kecewa karena tidak diizinkan membeli coklat tersebut, tetapi aku juga senang karena kita akan segera berangkat menuju rumah mbah uti. “kurelakan coklat lima senti itu untuk segera ke rumah mbah uti, mbah tunggulah kedatanganku disana!” kataku dalam hati.
Aku sangat bersemangat untuk segera sampai ke rumah mbah uti. Belum saja masuk desa, aku sudah dapat membayangkan apa yang akan kulakukan disana nanti. Aku lihat mba oya sedang tidur pulas, air liurnya sampai menets ke jok mobil. “Hii mba oya ngiler” kataku setengah berteriak, spontan mba oya bangun dan langsung mengelap air liurnya. Aku bapak dan ibupun menertawakannya. Aku kembali melanjutkan aktivitasku tadi, yaitu membayangkan apa yang akan aku lakukan di desa nanti, mba oya meneruskan mimpinya yang tadi sempat terpotong, ibu dan bapak kembali konsentrasi pada jalanan. Bapak yang menyetir mobil carry rabits 1.5 warna silver milik keluarga kami, mobil kami yang tersayang.
Mobilku berhenti di rest area km 105, tepatnya didepan solaria. Aku terbangun begitu pula mba oya. Masih dalam kondisi setengah tidur aku memeriksa mobil, kosong tidak ada siapa siapa kecuali kami berdua. Sudah menjadi kebiasaan kami berdua yang mempunyai rasa ingin tahu yang sangat kuat mengotak atik sesuatu yang menganggur, termasuk mobil ini. Kami yang masih kecil, kira kira umur kami sekitar 7, dan 8 tahun. Ya, jarak umur kami hanya satu setengah tahun. Aku memaikan dashboard, sedangkan mba oya duduk di kursi pengemudi sambil memainkan setir mobil kami yang mengkilap, kami menyebut kursi itu dengan nama kursi bapak, karena hampir setiap perjalanan bapaklah supirnya. Tiba tiba terdengar suara klakson yang keras sekali “tiiin tiiin tiiin” begitulah bunyinya. Kami segera mencari cari asal suara klakson terebut. Kami melihat sekeliling, hanya ada satu mobil di sepanjang area parkir ini. Yaitu mobil kami.
Sadar bahwa mobil yang sedang kami naiki adalah mobil yang mengeluarkan suara klakson tersebut, aku dan mba oya panik. Aku langsung pindah ke jok belakang mobil sambil menutup telingaku dan langsung disusul oleh mba oya. “Bib gimana nih bib” tanya mba oya kepadaku.
Kami semakin panik. Secara tidak sengaja aku melihat seorang polisi yang berbadan tinggi dan tegak. “mba oya mba oya,” kataku sambil terus menatap polisi tersebut tanpa berkedip. “Apa sih?” kata mba oya sedikit teriak karena suara klakson mobil. “Ada polisi lagilari ke sini,” “apa?” “Ada polisi lagi lari kesini!” kataku sambil berteriak. “Mana?” “itu disana! Yang lagi lari.” Polisi itu semakin mendekat. Kami pun berteriak “pak polisi! Pak polisi!” sambil melambaikan tangan. Sudah lama kami ingin seorang polisi dari jarak dekat. Selama ini kami hanya melihat polisi dari tv dan koran koran yang bapak beli.
Mba oya semakin antusias ketika pak polisi itu semakin dekat. Karena merasa bosan, aku iseng iseng melihat ke arah belakang dan di sana aku melihat ibu dan bapak yang baru saja keluar dari sebuah toko. Aku mencolek pundak mba oya dan menunjuk ke arah ibu, mba oya menengok dan melihat ibu yang baru keluar dari sebuah toko. Sadar bahwa mobilnya mengeluarkan bunyi klakson tanda alarm, bapak segera mematikan alarm dan berlari menuju kami. Aku tidak memperhatikannya karena aku lebih asyik terhadap polisi yang berlari semakin kencang.
Ibu dan bapak sampai ke mobil kami terlebih dahulu, karena memang jarak antara toko yang tadi ibu datangi tidak seberapa jauh dari mobil kami. Saat itu ibu langsung membuka pintu mobil dan mencari kami. Saat menemukan kami sedang meneriaki pak polisi yang sedang berlari kearah kami dan melambaikan tangan, ibu hanya tersenyum. Polisi itu datang ketika ibu sudah menaikan barang barang belanjaannya di atas mobil. Kami langsung pindah posisi kedepan agar dapat melihat polisi itu lebih jelas.
“Selamat malam bapak dan ibu," “malam, ada apa ya pak?” “apakah benar ini adalah kendaraan bapak dan ibu?” “ya benar, ini mobil kami,” kata bapak. “boleh saya lihat SIM dan STNKnya?” kata polisi itu ramah. “ada apa ya pak?” “suara kendaraan anda mengganggu rest area ini.” Bapak menyerahkan SIM dan STNKnya, mba oya yang sedari tadi hanya berdiam diri berkata dengan suara yang keras “pak polisi!”. Polisi tersebut tersenyum ketika mba oya memanggilnya. “terimakasih, lain kali jaga putra dan putri bapak, selamat malam.” Kata polisi itu sambil menyerahkan SIM dan STNK bapak.
Sore berganti malam, kami sering pergi jauh pada malam hari. Selain karena tidak panas, langit malam juga lebih indah dibanding langit pada siang hari. Dimalam hari juga jarang terjadi kemacetan. Itulah alasan mengapa kami lebih suka pergi pada malam hari.
Singkat cerita akhirnya kami sampai ke rumah mbah uti pada pagi hari, kira kira sekarang jam  07.00 pagi. Sesampainya disana aku dan mba oya langsung menghampiri mang ujang, sang penjaga kebon. Kami menarik tangan mang ujang sambil menunjuk kolam atau lebih pantas disebut empang, dengan maksud agar mang ujang menemani kami bermain air. “Bilang dulu sama mbah uti.” Seperti biasa ketika mang ujang ingin menolak permintaan kami. “Mbah uti boleh ya” kataku sambil memegangi tangannya. Mbah uti diam saja, seperti menunggu sesuatu. “Bib udah mbah uti gak bakalan izinin paling cuma bilang ‘udah makan dulu sana tuh maba ayu sudah masakin ikan bakar buat dimakan.’ Dan itu selau jadi kenyataan” kata mba oya menebak.
Saat matahari sudah mencapai puncaknya aku dan mba oya sudah siap pergi bermain air di empang. “Tuhkan kalau udah mandi udah makan udah shalat jadi tinggal berangkat. Pas jalan jalan juga tidak lapar karena sudah makan. Dah ke sawah sana sama mba ayu dan mang ujang manen singkong, sekalian bawa ini buat camilan disana.” Kata mbah uti sambil menyerahkan empat bungkus manisan. Aku dan mba oya kecewa karena tidak jadi main air, tapi tidak apa yang penting asyik. Aku, mba oya, mang ujang, dan mba ayupun pergi kesawah.
Di tengah jalan menuju ke sawah aku dan kawan kawan bertemu dengan mba dwi bersama anaknya ari yang sedang jalan jalan. Walaupun mba dwi sudah menjadi ibu tetapi kami lebih sering memanggilnya dengan sebutan “mba” karena sudah terbiasa memanggilnya begitu, susah mengubah kebiasaan itu. Kami pun mengajak mereka ikut serta untuk pergi ke sawah.
Ketika sudah sampai di sawah mba ayu dan mba dwi duduk duduk sambil ngobrol di saung yang baru direnofasi beberapa minggu yang lalu. Aku, mba oya, dan ari langsung menyambar sebuah pohon singkong yang ukurannya tidak begitu besar. “Eh mba oya, mas habib, mas ari jangan ikutan manen nanti kotor duduk aja sama mba ayu sama mba dwi. Nanti kalo udah kepanen semua langsung bisa makan singkong.” “gak mau, maunya ngambil singkong” kata aku dan mba oya berbarengan, “nanti dimarahin mbah loh” kata mba ayu. “Biarin wek”
Singkong adalah tanaman berakar tunggang yang kuat, ia juga menyimpan cadangan makanannya pada akar atau umbi akar. Berarti jika ingin mendapakan singkong harus mencabut tanamannya hingga keakar. Bagi mang ujang yang sudah terbiasa dangan pekerjaan ini adalah hal yang sepele. Tetapi bagi kami anak anak usia bawah sepuluh tahun in adalah pekerjaan yang akan menguras tenaga yang banyak. Mungkin anak anak seusia kami tidak akan bisa mencabut satupun pohon singkong, tetapi kami dengan semangat yang luar biasa membara juga kerjasama yang kompak, dan perjuangan yang hebat di atas tanah yang tidak datar kami berhasil mencabut lima buah pohon yang lumayan besar bagi anak seusia kami. Itu berarti lima buah akar telah dicabut oleh tiga anak bawah sepuluh tahun.
Setelah puas mengambili singkong dari akarnya, juga makan manisan yang tadi dibawa dari rumah kami (aku, mba oya, dan ari) minta izin dari mba ayu dan mang ujang untuk jalan jalan. “ya boleh tapi maghrib harus udah ada di rumah.” Kata mang ujang. Begitu mendapat izin kami langsung pergi ke tempat antah berantah.
Kami mengawali petualangan ini dengan berjalan diantara padi padi yang mulai menguning. Kami berjalan pada jalan setapak sawah yang terbuat dari lumpur yang licin, mba oya sempat terpeleset dan jatuh ke sawah dan kehilangan salah satu dari dua sendalnya. Selanjutnya kami pergi ke ladang jagung, disana banyak sekali serangga yang berterbangan kami sempat kewalahan menghadapi serbuan hewan hewan kecil itu. Kami lanjut lagi hingga sampai di sebuah kebon yang banyak pohonnya. Konon kata orang sekitar sini, kebon ini adalah batas antara hutan terlarang dan hutan yang boleh dipakai. Dengan nakalnya kami masuk ke dalam kebon dan terus menerobos hingga kedalam. Aku merasakan firasat buruk begitu juga mba oya dan ari. Aku tidak hati hati ketika ada sebuah akar yang terbentang di bawah kakiku, aku pun tersandung dan bajuku robek dibagian pundak karena tersangkut ranting.
Kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah mbah uti. Kami berusaha menemukan jalan kembali, tetapi tidak hasilnya. Kami tersesat. Kami terus berjalan mengikuti kata hati mba oya yang paling tua. Hasilnya kami menemukan tanah lapang yang luas sekali, seperti lapangan bola. Pada suatu sudut di tanah lapang itu aku menemukan sekelompok rumput yang aneh. Aku memanggil mba oya dan ari agar mereka juga melihatnya. “Apa ini?” kata ari ketika melihat tanaman itu. Kami berdua mengangkat bahu tanda tidak tahu. Aku mencoba menyentuhnya dengan perasaan sedikit takut, aku takut jika itu adalah tanaman beracun. Saat kusentuh ternyata tidak apa apa, aku sperti menyentuh kumpulan benang halus yang banyak. Tanaman itu memiliki tekstur yang sangat lembut, saking lembutnya rumpun itu jika ada orang yang memegangnya ia akan berkata “inilah rumput terlembut di dunia.”
Itulah awal dari perjalanan pencarian jalan pulang kami. Setelah puas melihat lihat keajaiban alam disana aku dan kawan kawan kembali kebon untuk mencari jalan pulang.
Kali bukan firasat mba oya yang memimpin tetapi akulah yang memimpin mencari jalan pulang. Aku berusaha mengumpulkan apa yang tadi kami lihat di dalam kebon. Aku tadi melihat akar pohon yang menjalar, mba oya melihat tanah berlubang, ari melihat bebatuan yang banyak, kami berusaha menemukannya lagi dalam upaya menemukan jalan pulang. Setelah beberapa saat kami berjalan akhirnya aku menemukan akar pohon yang kulihat tadi, kami terus menelusuri jalan tersebut hingga kami menemukan lubang yang dalam berarti sudah dua yang ketemu. Kami semakin bersemangat untuk terus menelusuri jalan itu. “Masih ada harapan” begitulah dihati kami bertiga. Kami terus mencari dan terus mencari tetapi tetap tidak ketemu barang ketiga yaitu batuan yang banyak.
Kami terus mencari hingga kami melihat ladang jagung dari kejauhan. Kami langsung berlari kearah ladang jagung tersebut. Kami telah keluar dari kebon pembatas. Walaupun sudah keluar dari kebon kami masih kebingungan karena ladang jagung itu sangat luas. Aku menyerah aku terlalu capek untuk memikirkan jalan pulang, kini giliran ari yang memimpin. “Ikuti aku” kata ari. Aku dan mba oya mengikuti ari yang berjalan didepan. Kami terus berjalan lurus menuruni tebing. Sekarang aku tahu bagaimana ari mengetahui secara pasti jika itu jalan pulang. Karena sedari tadi saat kita pergi, kita hanya mendaki dan mendaki tidak turun turun. Sudah dapat di tebak akhirnya kita sampai pada sawah. Ari kini sudah tidak berlari lagi. Ia lebih berhati hati agar tidak mendapat musibah seperti kami (aku dan mba oya). Tanpa disangka sangka ari terpeleset ke dalam sawah dan menyebabkan beberapa padi rusak.
Singkat cerita akhirnya kami menemukan jalan pulang dan dapat bertemu dengan rumah mbah uti. Kami sudah sangat dekat, kami berlari melewati empang. Tiba tiba “jeburrr...” ari terpeleset dan langsung berenang bersama ikan di empang. Kami menertawakannya.
Akhirnya kami tiba di rumah mbah uti tepat sebelum azan maghrib berkumandang. Kami hanya cengar cengir ketika melihat mbah uti yang sempat khawatir kalau kalau kami diculik. Aku menatap mang ujang sambil berkata “yang penting belum maghrib.” Ibu hanya menggelengkan kepala bapak sedang istirahat dan mba ayu sudah pulang. Mbah uti menyuruh kami mandi dan shalat maghrib. Kamipun mandi sambil main air di bathub. Mbah uti diluar kamar mandi menunggu kami selesai mandi. Kami senang dengan pengalaman luar biasa ini, kapan kapan jika ada kesempatan kami akan kembali lagi ke sini untuk merasakan dan mendapatkan pengalaman seru yang baru. Aku, mba oya, ibu, dan bapak,  juga mbah uti.

Cerita Ku


Desa Misteri
Oleh: Habiburrahman

Libur kenaikan kelas sudah tiba. Habib, Azmi , dan Rifqi pergi berlibur. Mereka pergi ke gunung heoglafist dengan mobil Azmi. Perjalanan yang jauh dan melelahkan, saat matahari mulai turun merekapun beristirahat di sebuah desa bernama lafist. ”Mi udah gelap nih, istirahat dulu yuk,” kata Rifqi memberi usul. ”Iya, Rif udah gelap, ya, ga kerasa,” Azmi mengiyakan menyusul. ”Dikit lagi nyampe ke puncak, dah ah, lanjut aja,” Habib merasa keberatan. ”kamu sih enak tinggal tidur aja, lah? Saya harus nyetir, ” Iya, Bib, jangan egois, udah gelap kayak gini kok malah langsung, nanti bahaya loh.”
”Yang penting kita pikirin  mau bermalam dimana?”
”Betul juga ya, Mi, eh, di situ kayaknya ada desa”
 Habib akhirnya mengalah juga.
”Mana, ah?” kata Rifqi sambil mengeluarkan kepalanya keluar jendela. ”Itu loh  yang terang terang kayak ada lampu.”
”Ooo... itu,  Rif, yang ada kuning kuningnya.” akhirnya Azmi menemukannya juga.
”Udah gak usah dicari lagi nanti juga ke sana.” Azmipun mengarahkan mobilnya ketempat yang bercahaya.
Di sepanjang jalan mereka melihat rumah kotak kotak,
”Dilihat dari jendela rumah itu sepertinya penghuninya sudah tidur” kata Rifqi. ”Memang rumahnya gelap tapi barang kali rumah itu penghuninya masih bangun, yuk kita coba dulu” Azmi yang sudah kelelahan ingin segera istirahat. ”Ga ah, aku gak mau mengganggu. Eh itu ada rumah yang masih terang yuk kita coba numpang disana.”Tapi kelihatannya rumah itu angker deh” kata Rifqi ketakutan. ”Udah ah gitu aja takut” Azmi sudah keluar dari mobil. ”Rif mau ikut gak dari pada diluar ditemenin sama anjing anjing dipojok itu” Habib menyusul Azmi. Rifqipun lari kearah Azmi dan Habib yang sudah setengah jalan. ”Ya sama anjing aja takut” ejek Habib. ”Udah udah” kata Azmi menengahi. Azmi dan Habibpun mengetuk pintu diikuti Rifqi yang ketakutan.
”Assalamu’alaikum ada orang didalam? halo?” Hening... akhirnya seseorang didalam membukakan pintu yang kelihatanya sudah tua dan tampak menyeramkan, Rifqipun menutup matanya. Sesosok nenek nenek tua muncul dari balik pintu yang barusan dibuka. ”Kan kata saya juga apa, gak ada yang harus ditakuti” Azmi membuka mata Rifqi secara paksa. ”Anak anak, apa yang kalian lakukan disini malam malam? Cepat masuk nanti mereka keburu datang!” ”ssssiapa?” kata Azmi, Habib, dan Rifqi kompak. ”Para penjahat itu, mereka tak segan segan membunuh siapapun yang mengganggu. Ayo cepat masuk.” Merekapun masuk kedalam rumah tua itu.
Pagi pagi sekali Rifqi keluar rumah untuk berolahraga. Tiba tiba sebuah mobil datang dari arah kiri, dan hampir menabrak Rifqi. Pemilik mobil itupun keluar, dan tampa mengucapkan satu kalimatpun ia memukuli Rifqi. Azmi berlari hendak menolong Rifqi dari pemilik mobil tadi. Tanpa di sengaja Azmi menendang seorang anak yang sedang bermain kelereng. Anak tersebutpun menangis, Azmi mencoba mendiamkannya tetapi tak berhasil. Orang tua anak tadi keluar dari rumah yang berbentuk kubus sambil membawa sapu. Azmipun dipukulinya tanpa ampun. Habib pergi menolong Azmi dan Rifqi yang sedang di pukuli oleh orang yang tak dikenal tadi. ”Aneh, kenapa semua orang disini tak bicara, hanya nenek nenek tua tadi malam yang bisa bicara” kata Habib yang setengah berlari. Saat Habib sedang melamun dan tak melihat jalan, Habib menabrak seorang remaja yang memakai baju sekolah. Habib berlari sekencang kencangnya, ia takut bernasip sama dengan kedua temannya. Saat itu Rifqi sudah berhasil kabur dari pemilik mobil yang tak sengaja ia hadang, begitu juga Azmi.
Azmi dan Rifqi menyusul Habib yang dikejar oleh anak remaja aneh. Sekarang ada empat orang yang sedang kejar kejaran. Habib terus berlari hingga jalan besar yang tertutup oleh sebuah kayu besar, ”bib tungguin!!!” kata Azmi yang sedang lari dibelakang anak remaja berpakaian sekolah tersebut. ”Waduh ada kayu besar bagaimana ini” Habib mencari akal. ”Bib panjat kayunya ayo bib” kata Rifqi setengah berteriak. Habibpun memanjat kayu yang menghalangi jalan besar. ”Ayo bib kamu pasti bisa” kata Rifqi menyemangati. Habib memanjat kayu besar tadi dengan susahn payah. ”Ayo.......” anak remaja tadi menyusul Habib yang sedang memanjat batang tadi. ”Aduh kok susah banget sih” kata Habib. Habib terus memanjat sebisanya, tangan anak remaja itupun mencapai kaki Habib. Habib mulai panik, bagai mana jika ia tertarik kembali kebawah dan dihajar oleh anak tadi. ”Ayo bib jangan nyerah” Azmi dan Rifqi sudah hampir mencapai batang pohon yang besar tadi. ”Ayo sedikit lagi” kata Habib dalam hati.Habib berhasil memanjat batang kayu yang besar, iapun melompat kebawah disusul oleh anak remaja lalu Azmi dan Rifqi.
Sesampainya di jalan besar Habib menarik sebuah ranting untuk menghambat anak remaja yang mengejarnya, ranting itupun tepat mengenai sasaran. Momen ini digunakan oleh Azmi dan Rifqi untuk mengejar Habib yang sudah jauh didepan. Akhirnya Azmi dan Rifqi dapat mengejar Habib, segera setelah itu, anak remaja berpakaian sekolah tadi sembuh dari maboknya setelah tersabet ranting pohon, maka terjadilah adegan kejar kejaran lagi. Habib dan kawan kawan lari hingga sampai ke sebuah sungai yang besar, tanpa berpikir panjang mereka terjun kedalam sungai karena sudah terdesak. Anak remaja yang mengejar Azmi dan kawan kawan berhenti sebentar dipinggir sungai seperti sedang berpikir. ”Bagus ini kesempatan kita untuk pergi dari desa ini” ”apa kamu sudah gila karena dipukuli oleh bapak bapak anak jelek tadi? Kita akan pergi dengan apa? Apakah kamu ingin mengikuti sungai ini dan menuju tempat yang tak jelas!” ”Aha, ide yang bagus! Ayo kita ikuti aliran sungai ini.” Tiba tiba Rifqi merasakan sesuatu yang aneh ”eh sepertinya ada yang aneh deh....” ”Awas!!!!!!” Azmi berteriak melihat anak remaja lompat kearah teman temannya.
Tiba tiba anak remaja itu berteriak sangat kencang ”tolong tolong aku tak bisa berenang!!!!!!” Rifqi yang paling belakang menghampirinya. ”Awas Rifqi, nanti ia akan menerkammu” ”tidak ia sudah berubah apakah kalian tidak merasakannya? Sebelumnya ia tak bisa bicara tetapi setelah masuk kedalam sungai ini ia langsung bicara” Ridqi terus berenang melawan arus demi menyelamatkan anak remaja yang berteriak meminta tollong. ”tidak ia hanya bersandiwara setelah itu kau akan ditenggelamkannya” Azmi terus berteriak Habib diam saja dan Rifqi tak menghiraukan teriakan Azmi. ”Terima kasih kau mau berbaik hati menolongku” ”apa kataku dia tak berbahayakan.” Mereka berempatpun pergi mengikuti aliran air sungai sambil bercerita. Ternyata anak itu adalah penghuni kota kecil yang didatangi oleh Rifqi dan kawan kawan.
”Pada suatu pagi, saat aku hendak pergi ke sekolah ada sebuah kabut yang sangat tebal kabut itu membuatku tak bisa melihat apapun. Sebenarnya nenek nenek peramal yang tinggal di rumah segitiga telah mengingatkan seluruh penduduk kota agar masuk kedalam rumahnya tetapi hanya sedikit yang mau mendengarkannya dan masuk kedalam rumahnya. Hingga kejadian itu tiba hanya empat orang yang mau mendengarkannya. Saat itu aku bingung apa yang akan aku lakukan jika terjebak disini selamanya. Tiba tiba ada yang menarikku keluar dari tubuhku dan melemparkan ku di suatu tempat yang berkabut. Hingga saat kalian menyadarkanku dari tempat mengerikan itu aku hanya berharap suatu saat nanti aku keluar dari situ. Oh iya namaku Hilmi terimakasih ya”
Berhari hari mereka menghanyutkan diri di sungai akhirnya mereka sampai pada tujuanya. Desa terdekat yang berada di kaki gunung. Mereka menceritakan semua pengalaman mereka di desa yang berada di dekat puncak gunung. Penduduk desa menertawakan cerita kami dan berkata ”menurut legenda kota lafist sudah terkena awan panas bertahun tahun silam dan tak menyisakan apapun” memang kisah ini sulit dipecaya tetapi ditertawakan seperti ini sungguh tak mengenakkan. ”apakah kalian sudah pernah mendaki gunung ini sampai puncak?” kata Habib memojokan. Para penduduk terdiam ”kami mengaku memang ada yang sudah pernah tetapi tidak kembali kesini lagi. Sejak saat itu tak ada penduduk desa yang mau mendaki gunung terkutuk ini.” Akhirnya penduduk desa mempercayai cerita Hilmi dan kawan kawan. Seluruh penduduk sepakat melaporkan kejadian ini kepada polisi. Polisipun tak langsung mempercayai cerita ini. Mula mula polisi itu menertawakan setelah terpojok mereka mulai percaya dan membantu menuntaskan kegilaan orang orang penghuni kota lafist dengan menyiramkan air dari langit. Setelah itu penduduk kota lafist yang sudah sadar menceritakan cerita yang sama. Cerita inipun tersebar kemana mana, hingga saat ini kuceritakan kisah ini kepada kalian.
The End