Sabtu, 11 Agustus 2012

Cerita Liburan


Liburan Ke Rumah NenekKarya: Muhammad Al-faruq Habiburrahman

Aku senang sekali, hari ini bapak dan ibuku mengajaku dan mba oya jalan jalan ke rumah mbah uti. Kami bersiap siap menyiapkan semua keperluan disana nanti.  Sebelum kami berangkat ke rumah mbah uti, kami berbelanja dulu di toko Adjie. Toko grosir dan eceran pertama dan terdekat dari rumah kami. Di toko Adjie aku membeli chiki, permen, dan coklat yang lumayan banyak. Saat tiba di mesin kasir, aku melihat ada coklat yang sangat menarik perhatian aku. Tetapi sayang harganya sangat mahal, “lain kali ya!” kata ibu. Aku kecewa karena tidak diizinkan membeli coklat tersebut, tetapi aku juga senang karena kita akan segera berangkat menuju rumah mbah uti. “kurelakan coklat lima senti itu untuk segera ke rumah mbah uti, mbah tunggulah kedatanganku disana!” kataku dalam hati.
Aku sangat bersemangat untuk segera sampai ke rumah mbah uti. Belum saja masuk desa, aku sudah dapat membayangkan apa yang akan kulakukan disana nanti. Aku lihat mba oya sedang tidur pulas, air liurnya sampai menets ke jok mobil. “Hii mba oya ngiler” kataku setengah berteriak, spontan mba oya bangun dan langsung mengelap air liurnya. Aku bapak dan ibupun menertawakannya. Aku kembali melanjutkan aktivitasku tadi, yaitu membayangkan apa yang akan aku lakukan di desa nanti, mba oya meneruskan mimpinya yang tadi sempat terpotong, ibu dan bapak kembali konsentrasi pada jalanan. Bapak yang menyetir mobil carry rabits 1.5 warna silver milik keluarga kami, mobil kami yang tersayang.
Mobilku berhenti di rest area km 105, tepatnya didepan solaria. Aku terbangun begitu pula mba oya. Masih dalam kondisi setengah tidur aku memeriksa mobil, kosong tidak ada siapa siapa kecuali kami berdua. Sudah menjadi kebiasaan kami berdua yang mempunyai rasa ingin tahu yang sangat kuat mengotak atik sesuatu yang menganggur, termasuk mobil ini. Kami yang masih kecil, kira kira umur kami sekitar 7, dan 8 tahun. Ya, jarak umur kami hanya satu setengah tahun. Aku memaikan dashboard, sedangkan mba oya duduk di kursi pengemudi sambil memainkan setir mobil kami yang mengkilap, kami menyebut kursi itu dengan nama kursi bapak, karena hampir setiap perjalanan bapaklah supirnya. Tiba tiba terdengar suara klakson yang keras sekali “tiiin tiiin tiiin” begitulah bunyinya. Kami segera mencari cari asal suara klakson terebut. Kami melihat sekeliling, hanya ada satu mobil di sepanjang area parkir ini. Yaitu mobil kami.
Sadar bahwa mobil yang sedang kami naiki adalah mobil yang mengeluarkan suara klakson tersebut, aku dan mba oya panik. Aku langsung pindah ke jok belakang mobil sambil menutup telingaku dan langsung disusul oleh mba oya. “Bib gimana nih bib” tanya mba oya kepadaku.
Kami semakin panik. Secara tidak sengaja aku melihat seorang polisi yang berbadan tinggi dan tegak. “mba oya mba oya,” kataku sambil terus menatap polisi tersebut tanpa berkedip. “Apa sih?” kata mba oya sedikit teriak karena suara klakson mobil. “Ada polisi lagilari ke sini,” “apa?” “Ada polisi lagi lari kesini!” kataku sambil berteriak. “Mana?” “itu disana! Yang lagi lari.” Polisi itu semakin mendekat. Kami pun berteriak “pak polisi! Pak polisi!” sambil melambaikan tangan. Sudah lama kami ingin seorang polisi dari jarak dekat. Selama ini kami hanya melihat polisi dari tv dan koran koran yang bapak beli.
Mba oya semakin antusias ketika pak polisi itu semakin dekat. Karena merasa bosan, aku iseng iseng melihat ke arah belakang dan di sana aku melihat ibu dan bapak yang baru saja keluar dari sebuah toko. Aku mencolek pundak mba oya dan menunjuk ke arah ibu, mba oya menengok dan melihat ibu yang baru keluar dari sebuah toko. Sadar bahwa mobilnya mengeluarkan bunyi klakson tanda alarm, bapak segera mematikan alarm dan berlari menuju kami. Aku tidak memperhatikannya karena aku lebih asyik terhadap polisi yang berlari semakin kencang.
Ibu dan bapak sampai ke mobil kami terlebih dahulu, karena memang jarak antara toko yang tadi ibu datangi tidak seberapa jauh dari mobil kami. Saat itu ibu langsung membuka pintu mobil dan mencari kami. Saat menemukan kami sedang meneriaki pak polisi yang sedang berlari kearah kami dan melambaikan tangan, ibu hanya tersenyum. Polisi itu datang ketika ibu sudah menaikan barang barang belanjaannya di atas mobil. Kami langsung pindah posisi kedepan agar dapat melihat polisi itu lebih jelas.
“Selamat malam bapak dan ibu," “malam, ada apa ya pak?” “apakah benar ini adalah kendaraan bapak dan ibu?” “ya benar, ini mobil kami,” kata bapak. “boleh saya lihat SIM dan STNKnya?” kata polisi itu ramah. “ada apa ya pak?” “suara kendaraan anda mengganggu rest area ini.” Bapak menyerahkan SIM dan STNKnya, mba oya yang sedari tadi hanya berdiam diri berkata dengan suara yang keras “pak polisi!”. Polisi tersebut tersenyum ketika mba oya memanggilnya. “terimakasih, lain kali jaga putra dan putri bapak, selamat malam.” Kata polisi itu sambil menyerahkan SIM dan STNK bapak.
Sore berganti malam, kami sering pergi jauh pada malam hari. Selain karena tidak panas, langit malam juga lebih indah dibanding langit pada siang hari. Dimalam hari juga jarang terjadi kemacetan. Itulah alasan mengapa kami lebih suka pergi pada malam hari.
Singkat cerita akhirnya kami sampai ke rumah mbah uti pada pagi hari, kira kira sekarang jam  07.00 pagi. Sesampainya disana aku dan mba oya langsung menghampiri mang ujang, sang penjaga kebon. Kami menarik tangan mang ujang sambil menunjuk kolam atau lebih pantas disebut empang, dengan maksud agar mang ujang menemani kami bermain air. “Bilang dulu sama mbah uti.” Seperti biasa ketika mang ujang ingin menolak permintaan kami. “Mbah uti boleh ya” kataku sambil memegangi tangannya. Mbah uti diam saja, seperti menunggu sesuatu. “Bib udah mbah uti gak bakalan izinin paling cuma bilang ‘udah makan dulu sana tuh maba ayu sudah masakin ikan bakar buat dimakan.’ Dan itu selau jadi kenyataan” kata mba oya menebak.
Saat matahari sudah mencapai puncaknya aku dan mba oya sudah siap pergi bermain air di empang. “Tuhkan kalau udah mandi udah makan udah shalat jadi tinggal berangkat. Pas jalan jalan juga tidak lapar karena sudah makan. Dah ke sawah sana sama mba ayu dan mang ujang manen singkong, sekalian bawa ini buat camilan disana.” Kata mbah uti sambil menyerahkan empat bungkus manisan. Aku dan mba oya kecewa karena tidak jadi main air, tapi tidak apa yang penting asyik. Aku, mba oya, mang ujang, dan mba ayupun pergi kesawah.
Di tengah jalan menuju ke sawah aku dan kawan kawan bertemu dengan mba dwi bersama anaknya ari yang sedang jalan jalan. Walaupun mba dwi sudah menjadi ibu tetapi kami lebih sering memanggilnya dengan sebutan “mba” karena sudah terbiasa memanggilnya begitu, susah mengubah kebiasaan itu. Kami pun mengajak mereka ikut serta untuk pergi ke sawah.
Ketika sudah sampai di sawah mba ayu dan mba dwi duduk duduk sambil ngobrol di saung yang baru direnofasi beberapa minggu yang lalu. Aku, mba oya, dan ari langsung menyambar sebuah pohon singkong yang ukurannya tidak begitu besar. “Eh mba oya, mas habib, mas ari jangan ikutan manen nanti kotor duduk aja sama mba ayu sama mba dwi. Nanti kalo udah kepanen semua langsung bisa makan singkong.” “gak mau, maunya ngambil singkong” kata aku dan mba oya berbarengan, “nanti dimarahin mbah loh” kata mba ayu. “Biarin wek”
Singkong adalah tanaman berakar tunggang yang kuat, ia juga menyimpan cadangan makanannya pada akar atau umbi akar. Berarti jika ingin mendapakan singkong harus mencabut tanamannya hingga keakar. Bagi mang ujang yang sudah terbiasa dangan pekerjaan ini adalah hal yang sepele. Tetapi bagi kami anak anak usia bawah sepuluh tahun in adalah pekerjaan yang akan menguras tenaga yang banyak. Mungkin anak anak seusia kami tidak akan bisa mencabut satupun pohon singkong, tetapi kami dengan semangat yang luar biasa membara juga kerjasama yang kompak, dan perjuangan yang hebat di atas tanah yang tidak datar kami berhasil mencabut lima buah pohon yang lumayan besar bagi anak seusia kami. Itu berarti lima buah akar telah dicabut oleh tiga anak bawah sepuluh tahun.
Setelah puas mengambili singkong dari akarnya, juga makan manisan yang tadi dibawa dari rumah kami (aku, mba oya, dan ari) minta izin dari mba ayu dan mang ujang untuk jalan jalan. “ya boleh tapi maghrib harus udah ada di rumah.” Kata mang ujang. Begitu mendapat izin kami langsung pergi ke tempat antah berantah.
Kami mengawali petualangan ini dengan berjalan diantara padi padi yang mulai menguning. Kami berjalan pada jalan setapak sawah yang terbuat dari lumpur yang licin, mba oya sempat terpeleset dan jatuh ke sawah dan kehilangan salah satu dari dua sendalnya. Selanjutnya kami pergi ke ladang jagung, disana banyak sekali serangga yang berterbangan kami sempat kewalahan menghadapi serbuan hewan hewan kecil itu. Kami lanjut lagi hingga sampai di sebuah kebon yang banyak pohonnya. Konon kata orang sekitar sini, kebon ini adalah batas antara hutan terlarang dan hutan yang boleh dipakai. Dengan nakalnya kami masuk ke dalam kebon dan terus menerobos hingga kedalam. Aku merasakan firasat buruk begitu juga mba oya dan ari. Aku tidak hati hati ketika ada sebuah akar yang terbentang di bawah kakiku, aku pun tersandung dan bajuku robek dibagian pundak karena tersangkut ranting.
Kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah mbah uti. Kami berusaha menemukan jalan kembali, tetapi tidak hasilnya. Kami tersesat. Kami terus berjalan mengikuti kata hati mba oya yang paling tua. Hasilnya kami menemukan tanah lapang yang luas sekali, seperti lapangan bola. Pada suatu sudut di tanah lapang itu aku menemukan sekelompok rumput yang aneh. Aku memanggil mba oya dan ari agar mereka juga melihatnya. “Apa ini?” kata ari ketika melihat tanaman itu. Kami berdua mengangkat bahu tanda tidak tahu. Aku mencoba menyentuhnya dengan perasaan sedikit takut, aku takut jika itu adalah tanaman beracun. Saat kusentuh ternyata tidak apa apa, aku sperti menyentuh kumpulan benang halus yang banyak. Tanaman itu memiliki tekstur yang sangat lembut, saking lembutnya rumpun itu jika ada orang yang memegangnya ia akan berkata “inilah rumput terlembut di dunia.”
Itulah awal dari perjalanan pencarian jalan pulang kami. Setelah puas melihat lihat keajaiban alam disana aku dan kawan kawan kembali kebon untuk mencari jalan pulang.
Kali bukan firasat mba oya yang memimpin tetapi akulah yang memimpin mencari jalan pulang. Aku berusaha mengumpulkan apa yang tadi kami lihat di dalam kebon. Aku tadi melihat akar pohon yang menjalar, mba oya melihat tanah berlubang, ari melihat bebatuan yang banyak, kami berusaha menemukannya lagi dalam upaya menemukan jalan pulang. Setelah beberapa saat kami berjalan akhirnya aku menemukan akar pohon yang kulihat tadi, kami terus menelusuri jalan tersebut hingga kami menemukan lubang yang dalam berarti sudah dua yang ketemu. Kami semakin bersemangat untuk terus menelusuri jalan itu. “Masih ada harapan” begitulah dihati kami bertiga. Kami terus mencari dan terus mencari tetapi tetap tidak ketemu barang ketiga yaitu batuan yang banyak.
Kami terus mencari hingga kami melihat ladang jagung dari kejauhan. Kami langsung berlari kearah ladang jagung tersebut. Kami telah keluar dari kebon pembatas. Walaupun sudah keluar dari kebon kami masih kebingungan karena ladang jagung itu sangat luas. Aku menyerah aku terlalu capek untuk memikirkan jalan pulang, kini giliran ari yang memimpin. “Ikuti aku” kata ari. Aku dan mba oya mengikuti ari yang berjalan didepan. Kami terus berjalan lurus menuruni tebing. Sekarang aku tahu bagaimana ari mengetahui secara pasti jika itu jalan pulang. Karena sedari tadi saat kita pergi, kita hanya mendaki dan mendaki tidak turun turun. Sudah dapat di tebak akhirnya kita sampai pada sawah. Ari kini sudah tidak berlari lagi. Ia lebih berhati hati agar tidak mendapat musibah seperti kami (aku dan mba oya). Tanpa disangka sangka ari terpeleset ke dalam sawah dan menyebabkan beberapa padi rusak.
Singkat cerita akhirnya kami menemukan jalan pulang dan dapat bertemu dengan rumah mbah uti. Kami sudah sangat dekat, kami berlari melewati empang. Tiba tiba “jeburrr...” ari terpeleset dan langsung berenang bersama ikan di empang. Kami menertawakannya.
Akhirnya kami tiba di rumah mbah uti tepat sebelum azan maghrib berkumandang. Kami hanya cengar cengir ketika melihat mbah uti yang sempat khawatir kalau kalau kami diculik. Aku menatap mang ujang sambil berkata “yang penting belum maghrib.” Ibu hanya menggelengkan kepala bapak sedang istirahat dan mba ayu sudah pulang. Mbah uti menyuruh kami mandi dan shalat maghrib. Kamipun mandi sambil main air di bathub. Mbah uti diluar kamar mandi menunggu kami selesai mandi. Kami senang dengan pengalaman luar biasa ini, kapan kapan jika ada kesempatan kami akan kembali lagi ke sini untuk merasakan dan mendapatkan pengalaman seru yang baru. Aku, mba oya, ibu, dan bapak,  juga mbah uti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar